Bahasa Indonesia: Pekerja memproduksi kain tenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) di rumah produksi Samtek Putra Alam Samtek Putra Alam, Kampung Leuwinanggung, Desa Talun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung,Jawa Barat, Kamis (4/7/2019). Tenun Majalaya dibuat secara manual, dan dikategorikan sebagai Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Dalam sehari peralatan ATBM mampu memproduksi 65 potong kain tenun untuk dijadikan sarung dengan nilai jual seharga Rp 20 Ribu - Rp 50 ribu per potong untuk dipasarkan ke berbagai daerah seperti Jakarta, Cianjur, dan Sukabumi.
Tahun 1960-an menjadi era gemilang bagi tenun Majalaya. Masa keemasan Majalaya sempat menjadikan wilayah ini dijuluki sebagai Kota Petro Dollar. Setidaknya puncak kejayaan tenun Majalaya saat itu berlangsung 20 tahun lamanya. Kala itu Majalaya mampu menguasai 40 persen kebutuhan tekstil nasional. Sedikitnya 1 juta meter kain dipesan kepada pengrajin tenun Majalaya. Kain tenun ini didominasi oleh produk kain sarung.
Motifnya sederhana, namun komposisi benang dan warnanya membuat sarung ini elegan. Kini semua tinggal kenangan manis. Merebaknya produk fesyen modern membuat berbagai industri tenun di Indonesia kelabakan. Dampaknya sangat terasa bagi para pengrajin tenun Majalaya.
Usaha tekstil yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Majalaya tidak lagi berdenyut. Bagi pemilik usaha mereka merasakan berada di jurang kebangkrutan.Begitupula para pekerja yang mengeluhkan upah mereka.Tak ada pilihan lain, dapur produksi masih terus menyala.
Hingga saat ini perajin Tenun Majalaya masih mempertahankan ATBM. Bagaikan memulai hidup baru, tenun Majalaya mulai bangkit dan menyesuaikan pasar saat ini. Pangsa pasarnya juga sudah mengikuti tantangan dunia digital. Dengan mengedepankan tenun tradisional yang tentu punya jati diri tersendiri, dengan ciri khas dan mempertahankan nilai tradisionalnya.